"Ada mi pacar ta?"
Aku melihat wajahnya malu-malu.
"Kalau tidak ada, bisa kah saya jadi orang spesial itu?"
Akhirnya kalimat yang aku tunggu-tunggu sejak lama, meluncur juga dari bibirnya. Meski dengan intonasi tak berpola. Aku tahu dia gugup. Sama sepertiku, ketika tatapannya lindap menyorot hitam bola mataku. Aku mengangguk, itu jawabanku. Sejak itu, kami resmi pacaran, meski dengan jalan kucing-kucingan.
Namanya La Ode Ikhsanuddin. Dia dosen sekaligus kekasihku. Di kelas, aku memanggilnya Pak Ikhsan. Di WhatsApp, aku menyapanya "Bebs". Kadang juga "Cayang" di kala musim rindu melanda. Singkatnya, aku dan Pak Iksan dilanda asmara cinta kopaka: Asmara cinta yang bertepuk-tepuk membahana.
Oh iya, perlu kiranya aku mengenalkan diri. Namaku Wa Sintia. Aku mahasiswi jurusan Keguruan di salah satu universitas swasta di pulau Buton. Umurku seleting dengan Amanda Manopo.
Bukannya sombong, tapi tidak sedikit yang bilangkan aku cantik. Kata banyak orang, senyumku kayak Lisa Black Pink. Hmm, ada-ada saja orang-orang itu. Tapi, girangku bukan main.
Motivasi kuliahku, selain cari ilmu, tentu saja cari jodoh. Seiring sejalan lah. Makanya, bahagia sekali hatiku saat Pak Iksan ungkapkan perasaannya.
Memang, Pak Iksan tidak setampan Boy William. Tapi setidaknya, dosennya sudah disertifikasi. Mukanya juga tidak jelek-jelek amat. Tidak malui-maluin lah kalau nanti menikah, aku diantar jemput ke arisan atau majelis Ta'lim. Masa depannya jelas. Ada BPJSnya. Kalau namanya dipasang di blangko undangan, pasti bikin bangga keluarga. Espede Empede, ini kau e!
Aduh, Pak Iksanku. I Love U.
Lamun beberapa hari ini saapan rindu itu, sedang benci aku ucapkan. Sejak perempuan bernama Wa Kinamboro, lengket-lengket terus sama Pak Ikhsan. Kebetulan, dia teman sekelasku. Hmm, kenapa bisa hidup perempuan seperti itu di planet Bumi. Munafik. Licik.
Aku tahu Wa Kinamboro diam-diam mencintai kekasihku. Dari sorot matanya yang ganjen. Dari gestur tubuhnya yang sontak meliuk-liuk bak siluman kobra manakala berdekatan dengan Pak Iksanku.
"Pak Iksan, saya tidak mengerti materi bagian ini. Bisa kah dijelaskan ulang di sampingku. Di sini," pinta Wa Kinamboro sembari bergesar sedikit dari tempat duduknya semula.
Aku bisa melihat tatapan Pak Iksan menunggu persetujuan dari mataku. Sebagai kekasih diam-diam, ia ingin aku bisa memahami keadaan.
"Ayo,Pak Iksan. Dijelaskan!" sungutku sembari beranjak dari ruangan memuakan itu.
Kamu bisa menebak sendiri bagaimana perasaanku. Pak Iksan berusaha menahanku, tapi Wa Kinamboro itu menggenggam tangannya. Emosiku kian meluap-luap.
***
"Sayang, kamu marah k?"
Aku malas membalas pesan itu.
"Kenapa tidak pernah lagi ada kabar?"
"Bagaimana kabarmu?"
"Ada salahku k? Balas dank smsku. Atau angkat itu telpon."
Rentetan pertanyaan itu, awalnya aku abaikan. Hatiku belum sepenuhnya siap untuk bicara baik-baik.
"Marno, maaf. Sepertinya hubunga ta sudah tidak bisa lagi dilanjutkan. Saya mau konsen kuliah. Jaga dirimu baik-baik di rantau sana."
Itu sms terakhirku untuk La Marno, pacarku di kampung yang sekarang lagi memetik cengkih di Maluku Utara. Sudah hampir setahun kami berpisah. Sejak ia ucapkan janji di atas Jembatan Wolowa, bahwa ia akan kembali membawa segepok uang untuk menikahiku. Untuk menggelar hajatan besar dan menyewa Laser Bure 01, untuk acara joged satu hari dua malam.
Awalnya aku setia menunggu. Aku percaya La Marno akan kembali dan menggenapi kisah cinta kami ke altar nikah. Namun jalan takdir tiba-tiba mempertemukan aku dengan Pak Iksan. Pelan tapi pasti, pesona dosen itu lamat-lamat mencondongkan hatiku. Kendati hari ini aku lagi marahan dengannya, aku yakin beliau akan mencariku lagi.
Bagiku, hidup dan cinta adalah pilihan. Untuk pilihan kebahagiaan, mau tak mau harus ada yang harus dikorbankan.
Menurutmu, apa pilihanku salah?
Penulis: La Anto
Sumber foto: Pinterst
Tidak ada komentar:
Posting Komentar