Eiger Versus Swallow: Sandal Kece Versus Sandal Sejuta Umat


Di zaman saya, pakai Eiger itu mungkin sama prestisenya dengan pakai Falcon Supernova iPhone 6 Pink Diamond atau lamborgini. Penuh gengsi. 

Waktu SMP dulu, selain pilot dan arsitek, cita-cita saya adalah memakai Eiger. Wajar sih, karena untuk mendapatkannya, saya harus menabung untuk jangka waktu yang panjang. Mungkin masuk taraf sedikit lagi mustahil. Karena saat itu satu-satunya pendapatan saya adalah mengumpulkan sisa uang jajan. 


Bahkan manakala lebaran Idul Fitri tiba, saya harus menahan sabar dengan membeli sandal yang ala-ala Eiger. Ada Erger, Eger, Eeger, dan lain selucunya. Saya juga berburu tas sandal Eiger. Itu loh, kemasan yang jaring-jaring itu. Tak dapat sandalnya, jaring-jaring kemasannya pun jadi tas sekolah. Betapa cintanya saya sama Eiger. 


Jadi bisa Anda bayangkan ketika cita-cita itu tercapai pada suatu momen di bangku SMA. Berbekal uang juara ngeband, saya menuju pasar untuk membeli sendal luar biasa itu dengan hati berdebar-debar. Mirip sang pecinta yang bakal bertamu ke rumah kekasihnya. Akankah akadnya terlaksana? Tidak tanggung-tanggung, saya langsung meminang Eiger yang tali-talinya mirip sandal Wiro Sableng. Saya menyebutnya begitu.


Sontak saja sandal Eiger menjadi wujud baru yang selalu saya perhatikan. Terkena debu sedikit, saya lap. Tercoreng lumpur sedikit, saya sikat. Tergores sedikit dasarnya, hati saya ikut-ikutan meringis. Bahkan dalam salat Jum'at, bayang-bayang Eiger terkadang menghantui. "Semoga tidak ada yang curi Eigerku di rak sandal," begitu rapal doaku. Susah Khusyu.


Namun entah mengapa, ketika usia makin dewasa, punya anak tiga, selera sandal saya makin sederhana. Kembali ke Swallow yang di masa lampau, acap saya hina dina. Alasannya simpel: swalow murah dan enak dimakan. Eh, dipakai maksud saya. 


Swallow juga bisa meningkatkan iman di masjid karena membuat hati saya tenang dan damai ketika salat. Saya tak perlu mengingat-ingat lagi urusan sandal di luar sana. Kalau swalow dicolong orang, kan tinggal beli lagi di warung terdekat. Itulah okenya Swallow. Murah dan bisa ditemukan di mana saja. 


Lebaran sebelum pandemi, ketika istri saya menawarkan beli sandal Eiger, dengan kebulatan hati saya memilih Swallow saja. Biarkan anak-anak yang memakai sandal Erger. Biarkan mereka menikmati sensasinya. Saya pun coba menikmati sensasi menggoreskan nama di sandal Swallow. Biar tidak tertukar. Maklum, swallow merupakan sandal sejuta umat.


Eh iya, Swallow juga adalah sandal yang melegenda. Ia dilahirkan enam tahun sebelum bapak dan mamak saya merencanakan kelahiran saya. Seleting dengan Pak RT. Swallow brojol di Jalan Kamal Raya No 1 (Tegal Alur), Cengkareng. Dari rahim PT Sinar Jaya Prakarsa. Perusahaan tersebut sudah berdiri sejak 1982 yang dirintis oleh Amir Djohan selaku pemilik dan komisaris.


Satu hal yang membuat saya tetap nyaman memakai swallow adalah modelnya yang sederhana. Apa adanya. Tak banyak lekuk dan ornamen yang njilimet. Memang benar, hari ini Swallow sudah berkembang ke model-model yang lebih trendy. Lamun saya lebih suka gaya klasik. Gaya orde baru. Yang sering digunakan orang-orang tua dulu untuk ambil air wudhu.


Swallow juga berhasil masuk dalam memori jangka panjang saya. Ketika sandal putus, dasarnya biasa saya jadikan ban-ban untuk main mobil-mobilan. Swallow membuat masa kecil saya penuh warna dan imajinasi.


Saya sampai takjub dengan kemampuan Swallow bertahan puluhan tahun dengan kesederhanaannya. Seakan-seakan sandal rakyat itu mengirim pesan: kesing hanyalah citraan, yang menentukan adalah seberapa berguna kehadiranmu. 


Terakhir, simpulan saya dari review dua sandal di atas: perbandingan Swallow dan Eiger itu mirip kue tart dan tuli-tuli. Satu manis dengan keanggunannya, satu meriah dengan kerakyatannya. Masing-masing punya keindahan dan sensasi yang khas. 


Bosku, ini ceritaku tentang Eiger dan Swallow. Mana ceritamu? 


Penulis: La Anto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages