Menarik jika kita melihat perbincangan beberapa tokoh politik ternama di Baubau kemarin. Dari koja-koja singkat itu, ada satu poin yang menjadi top discussion topic, yakni ide perubahan nama kota Baubau menjadi kota Buton. Sontak saja ide itu menjadi perdebatan di masyarakat.
Adanya polemik ini, membuat saya teringat kembali tentang diskusi antara saya dan teman-teman dalam penentuan nama media cerita yang kami buat. Dari diskusi awal kita sepakat untuk menamakan media ini dengan nama BaubauPedia. Tapi selang beberapa hari dirilis, saya menyarankan untuk perubahan nama dari BaubauPedia menjadi ButonPedia.
Alasan saya memilih nama ini karena saya merasa nama Buton lebih universal alias lebih luas ruang lingkupnya dibanding nama Baubau. Sebut saja di luar sana, orang-orang dari suku lain lebih mengenal "orang Buton". Alhasil, lebih dari separuh kami menyetujuinya. Tapi, salah seorang teman malah berpikir sebaliknya. Dia lebih menyukai nama BaubauPedia karena ingin lebih memperkenalkan kota Baubau pada khalayak ramai. Pelafalan BaubauPedia pun lebih nyaman di lisan dibanding penyebutan ButonPedia. Dan juga dalam artian umum, "Pedia" jika dikaitkan dengan kosakata dalam bahasa Indonesia bisa berarti mencari pengetahuan.
Karena perbedaan pendapat tersebut, kami memilih untuk tidak mengubah nama media cerita kami ini. Ingat yah, media cerita, bukan berita! Yang terpenting bagi kami adalah kualitas content, dan ide-ide segar yang diberikan agar lebih kekinian tapi masih related dengan kehidupan kita di Baubau.
Lagian, nama Baubau sekarang lebih komersil, semenjak adanya Fildan, Wa Ode Heni, dan beberapa anak muda yang mewakili kota ini dalam ajang pencarian bakat di media TV nasional. "Kabharakatina tanah Baubau". Eh salah, "Kabharakatina tanah wolio," maksud saya yang sering kita dengar dan diucapkan Fildan di kompetisinya dulu.
Kembali pada ide perubahan nama kota Baubau menjadi kota Buton. Menurut saya, ide perubahan nama kota ini, perlu ada pengkajian yang lebih jauh lagi. Menghadirkan banyak tokoh dan pakar yang ahli, baik yang pro maupun yang kontra. Biar imbang dan mendekati nilai obyektif. Sebab wacana ini sangat rentan menghadirkan polemik yang berkepanjangan di masyarakat.
Saya suka jabaran Pak Kamaludin Zamani di salah satu group Facebook. Beliau menganalogikan Buton, Wolio, dan Baubau itu seperti Amerika Serikat, Washington, dan New York city. Sebelumnya, pada tulisan itu beliau terlebih dahulu menjelaskan secara ringkas tentang asal-usul dari ketiga nama tersebut.
Tulisan itu tentunya sangat menambah perbendaharaan pengetahuan saya tentang sejarah tanah leluhur kita ini. Tapi jika saya diizinkan beranalogi juga, untuk sekarang ini, saya lebih melihat Buton, Wolio, dan Baubau seperti satu batang tubuh. Di mana Buton itu adalah raga, Baubau adalah wajah sedangkan Wolio adalah Jiwa.
Sebagai generasi muda Buton yang hidup di kota Baubau, saya menganggap bahwa nama Wolio mempunyai muruah tersendiri jika dibandingkan dengan dua nama yang sudah disebutkan. Walau sebetulnya pada asal mulanya Wolio adalah sebuah nama tempat pusat pemerintahan dari Kerajaan atau Kesultanan Buton seperti yang terdapat pada tulisan Kamaludin Zamani.
Nama Wolio yang berkembang di masyarakat kota Baubau sekarang ini juga lebih menggambarkan kharisma dari kesultanan Buton itu sendiri. Yang bahkan telah dianggap sebagai jati diri kita miana wolio yang berdiri di atas Tana Wolio. Maka dari itu, saya menganggap bahwa Wolio adalah jiwa atau roh dari Buton dan juga Baubau.
Jangan lupa, bahwa kita juga tidak bisa membuang nama Baubau begitu saja. Apalagi, konon katanya, Baubau dulu adalah satu tempat mengungsi ketika terjadi kebakaran besar di benteng terluas di dunia itu di masa lampau. Entah benar atau tidak, tapi Baubau punya sejarahnya tersendiri. Sebagai orang Buton yang tentu mengerti pogau wolio, harusnya kita buang jauh-jauh pikiran bahwa Baubau adalah sebuah diksi negatif yang kita malu menggunakannya. Kita semua tahu bahwa nama itu tidak ada hubungannya dengan kata ‘bau' dalam Bahasa Indonesia. Harusnya kita lebih memperkenalkan khazanah bahasa kita di mata dunia. Pantang bagi orang lain untuk melecehkannya, apalagi kita sendiri.
Apa bedanya dengan sebagian tempat di Indonesia yang memakai nama Kota Baru untuk penyebutan daerah mereka? Bukankah harusnya kita lebih berbangga karena tidak membuang budaya kita dalam diksi tersebut. Mana ada orang ‘Malang’ yang malu dengan nama kota mereka. Padahal kalau kita maknai secara bahasa Indonesia, nama itu seolah kurang membawa keberuntungan, tapi tidak kan? Malah jadi kota maju sekarang.
Mengapa saya menganggap bahwa Baubau adalah wajah?
Tentunya siapa pun yang ingin mengenal Kejayaan Buton dengan segala budaya di dalamnya di mana lagi ditemukan kalau bukan di Kota Baubau. Mulai dari pusat kesultanan, budaya, hingga karakteristik masyarakat, semua ada di kota ini. Kota Baubau juga secara geografis merupakan pintu gerbang dari wilayah Kepulauan Buton yang dulunya merupakan wilayah Kesultanan Buton.
Jikalau ada beberapa karakteristik yang sudah mengalami perubahan, yah tugas kita untuk mengembalikan dan mempertahankannya. Mirip-mirip Bali lah. Walau kesan modern tampak di sebagian wilayah Denpasar dan beberapa tempat lainnya, tapi unsur etnik dan budaya tidak dihilangkan tapi disandingkan. Hebatnya, gagasan itu membuat Bali sampai sekarang ini masih menjadi destinasi wisata no. 1 di Indonesia. Bahkan, di dunia.
Untuk nama Buton sendiri, tidak usah saya membahas panjang lebar di sini. Sudah barang tentu kita semua mengenal dengan baik nama tersebut.
Sebagai simpulan tulisan saya kali ini, daripada sibuk untuk mengganti nama kota ini, mengapa tidak sebaiknya kita menyibukkan diri untuk membangun dan mengembalikannya ke tempat seharusnya. Yakni sebuah kota yang menjadi wajah bagi kebesaran sejarah Buton yang pernah ada di masa silam.
Bukan begitu, Bosku?
Penulis : Ade Nyong
Sumber gambar: Tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar