Kadang saya geli menggumam sendiri, "Kok bisa saya hidup ?" Padahal fasilitas serba begitu terbatas. Kata anak sulung saya, "Apaaaaaa...dulu tidak ada hape?" Yah, responnya seperti itu. Ia terpana dengan cerita saya yang memakai padhamara (lampu minyak) untuk penerangan. Bagaimana ibu saya gali tutup lubang, untuk membuat tempat pembuangan hajat sementara, karena dulu keluarga saya belum bisa menikmati anugrah kloset duduk.
Belum lagi kisah epik nonton Satria Baja Hitam RX. Saya menyebutnya epik nan heroik, karena saya harus berjuang kupas bawang berkeranjang-keranjang agar punya uang masuk nonton, dan harus mandi harum-harum, karena ketek kami akan didengus oleh sang pemilik televisi. "Yang belum mandi tidak boleh nonton." Kata-kata keramat itu membekas di alam bawah sadar saya.
Cerita di atas adalah wajah kecil saya. Beda lagi rasanya ketika mengenang urusan cindolona tape. Asmara remaja cinta kopaka di tahun 2000-an. Dulu, ketika saya janjian sama si doi, signal perasaan kami begitu menggebu. "Eh besok pagi, jam enam kita ketemu di Pelabuhan Murhum e," kata mantan pacara saya nomor tiga.
Dan benar, Pemirsa. Presisi waktu dan tempat kami bertemu tak bergeser. Sesuai dengan waktu dan tempat yang dijanjikan. Tidak seperti muda-mudi sekarang ini. Bilang "Otw" tapi masih leha-leha di rumah. Sakit kan? Perih kan?
Anak muda Buton di masa lalu sepertinya lebih mengerti akan arti sebuah janji. Karena kalau diingkari, bakal susah ketemuan, Bosku. Belum ada hape ini e. Bayangkan mi misalnya kalian janjian ketemuan di Festival Musik di Pantai Kamali. Malam hari. Pasti kan banyak orang. Dan misalnya kamu dan pacarmu terpisah. Selamat na! Ko putar-putar mi di Pantai Kamali itu cari pujaan hatimu. Untung kalau ketemu.
Tapi memang biasanya ketemu. Tanpa bantuan hape apalagi air nene. Mungkin muda-mudi Buton dulu punya naluri intuisi yang kuat, untuk menuntun hati bertemu belahannya kembali. Aseeek.
Urusan perasaan berikutnya terjalin di telepon Wartel. Mantan saya nomor dua, biasa menggunakan wartel Mama, depan kantor Pengadilan Baubau. Di tempat itu cinta kami terkonek lewat jaringan telkom.
Yang bikin deg-degan sejujurnya, bukan saja isi percakapan sama si doi, tapi argo telepon yang berjalan lesat. Tahu-tahu sudah di angka sepuluh ribu. "Eiy cepat mi ko bicara dank. sudah sepuluh ribu ini e, mana pas-pasan uangku. Banyak lagi yang antri ini," ucap mantan saya itu.
Beda dengan hari ini yang mau telepon saja mudah dan banyak paket gratis, di tahun 2000-an, waktu bicara begitu berharga.
Memori cinta-cinta berikutnya mengudara lewat radio. Selain saling kirim surat cinta, saya dan mantan nomor satu acap berbalas atensi. Kebeteluan saya satu sekolah dengan mantan.
"Untuk lelakiku di kelas III IPA 5. Aku tanpamu bagai ambulance tanpa wiu wiu."
Terus saya balas dengan penuh gombal: "Untuk kekasihku yang hari ini makan Salonde di kantin. Ingatlah, selama konduru masih berbunga di tanah Buton, cintaku selalu setia untukmu."
Lalu kami saling tukar tawa, menceritakan kertas atensi itu kembali. Sesederhana itu kebahagian kami di masa 2000-an. Saling tukar foto. Foto kami juga masih suci dari campur tangan Camera 360, Canva, Snapseed, atau Photoshop.
Ini ceritaku. Mana cerita di zamanmu,Bosku?
Penulis: La Anto
Foto:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar