Pintu mesjid masih tertutup. Kami jadi orang pertama. Bilal menyalakan lampu, saya menyiapkan sajadah untuk Pak Imam.
Di kejauhan azan magrib dari mesjid lain sudah kedengaran. Bilal tidak henti-hentinya bertanya apakah dia sudah boleh azan atau belum. Sebelum mengiyakan, saya menimbang segala kemungkinan. Bilal menoleh lagi. Memberi kode bahwa dia bersiap azan. Saya pasrah saja: tidak mengiya tidak melarang. Akhirnya dia azan.
Pukul 18.14. Bilal sudah selesai azan. Kami masih berdua. Aduh bagaimana ini. Dalam kepala saya sudah terbayang segala kemungkinan. Kalau misalnya setelah qomat belum ada Pak Imam, ini bisa jadi masalah.
Tanpa menunggu persetujuan, Bilal langsung qomat. Saya mulai keringat dingin. Mati saya kalau akhirnya saya harus jadi imam. “Kan kita dua saja, Bapak mi yang imam”, kata Bilal. Dengan sedikit berdiplomasi saya bilang kita harus menunggu dulu barangkali saja ada yang datang dan bisa jadi imam. Bilal ngotot. Aduh. Saya membujuk, bagaimana kalau Bilal saja yang imam karena hafalannya kan lebih banyak dari bapak. “Coba saja pak, jangan mi takut. Kan kita dua ji.” jawaban Bilal membuat saya tidak punya pilihan.
Akhirnya saya maju. Jadi imam. Stanmic geser agak ke kiri biar tidak terlalu dekat dan sekaligus menyamarkan suara saya biar tidak terlalu kedengaran. Demi Tuhan saya deg-degan.
Saya tarik nafas dalam-dalam. Memantapkan diri. Menenangkan perasaan dan mengangkat tangan bersiap takbir. Saat mulai membaca Al fatiha, kedengaran beberapa langkah mendekat. Menyesuaikan posisi di belakang saya satu saf dengan Bilal. Saya mulai merasakan butir-butir keringat menyembul dari pori-pori dahi dan bergerak perlahan menyusuri alis lalu mata kemudian hidung dan memenuhi pipi hingga ke leher. Sesudah bacaan Al fatiha, yang mengaminkan cukup banyak. Ya Allah, beri saya ketenangan, begitu niat saya dalam hati sebelum melanjutkan membaca surat Al ikhlas.
Begitu seterusnya sampai terakhir. Sesudah salam, saya menoleh ke belakang. Satu saf hampir penuh. Ada Pak Imam di sana. Ada tetangga yang biasa juga jadi imam pengganti bila Pak Imam berhalangan ada tugas luar. Terakhir saya melihat ke arah Bilal tepat di belakang saya. Dia tersenyum. Giginya yang copot bagian depan membuat saya agak gemas. Dalam hati saya berujar, awas memang kalau sudah sampai rumah. Pokoknya saya kasi bagianmu, pikirku.
Sesudah itu kami pulang. Dengan enteng Bilal mencolek punggung saya dan bilang, “Begimana perasaannya Bapak jadi imam, asyik to?” Sambil senyum-senyum. Untung anakku sendiri, kalau anaknya orang sudah lama saya toki kepalanya. Eh, terbalik di?
Kendari, 2 Februari 2021
Penulis: Anto La Malonda
#ceritadenganbilal
🤣🤣🤣🤣🤣
BalasHapusMasyaALLAH.... Good job bilal... Kandang paksa yang indah hahhaaha insyaALLAH pahalanya berlipat ganda
BalasHapus