Untuk sahabatku La Ndoke-ndoke
di
Hutan Lambusango
Bagaimana kabarmu, Ndoke? Saya kangen sekali sama kamu. Betulan ini. Kamu sudah bisa menulis k? Kalau belum, belajar dank! Biar kita bisa Facebookan. Biar kita bisa melepas rindu. Saya sedih harus jauh dari kampung halaman. Apalagi, di kota Baubau ini, tidak ada kamu yang ‘kepala batu’ itu. Jangan marah e. Bercanda, Bosku.
Ndoke, saya sudah lancar membaca. Pasti kamu iri to? Minggu kemarin, saya sudah lulus tes masuk sekolah negeri. Tapi saya lulus bersyarat kasian! Nilaiku pas-pasan. Terpaksa saya harus ikut Bimbel matrikulasi: menulis selama dua bulan di sekolah. Gurunya tegas bukan gosip. Kalau salah-salah menulis huruf, siap-siap tangan dan kaki dihantam rotan. Kami memang bisa menulis. Tapi… sekujur badan memar, bahkan kadang berdarah-darah. Tengah malam saya selalu bangun dan berdoa sama Tuhan: semoga rotannya yang patah, bukan pahaku yang kurus ini.
Kata bapakku, sudah seperti itu pembelajaran di sekolah unggulan. Keras. Biar seluruh hewan bisa patuh dan tidak main-main. Belajar itu harus serius, supaya tidak malas. Tanda siswa bodoh itu sederhana. Coba lihat hewan yang gelisah dan tak bisa diam saat guru lagi menerangkan. Kalau ada yang menoleh sedikit, atau ketawa-ketawa, langsung ditempeleng. Saya langsung ingat sama kamu, Ndoke. Monyet seliar kamu tidak cocok belajar di sekolah unggulan. Kamu kan hewan yang susah diam walau semenit.
Ndoke, sebenarnya saya mau ingin tanya, seperti ini kah jalannya kalau mau pintar? Harus dikasari? Saya tahu ji metode keras itu tujuannya supaya kita bisa belajar serius. Nilai rapor siswa bisa bagus. Begitu saya dengar pidatonya guru bimbingan konseling. Tapi pernakah para guru itu pikirkan tentang kebahagiaannya siswa dalam belajar? Ini yang ada malah tegang terus. Tidak heran ada tiga hal yang paling ditunggu teman-temanku di sekolah. Pertama,bel pulang. Kedua, bel keluar main. Ketiga, guru tidak masuk.
Ndoke, adakah sekolah yang bikin rindu di tanah Buton Ini?
Tidak usah mi kamu jawab. Saya cuma ingin curhat saja kasian. Saya lanjut e.
Sekolahku ini bergengsi sekali. PHB-nya saja, alias penerimaan hewan baru, ketatnya minta ampun. “Di sekolah unggulan, tak ada tempat bagi hewan bodoh,” tutur kepala sekolah. Bayangkan saja, hewan yang mendaftar sekitar 2.000-an. Yang diterima sebatas 200-an. Itu pun harus menyelesaikan berbagai macam tes. Yang lulus adalah mereka yang menempati posisi 1 hingga 175. Sisa kuota 25 kursi, disiapkan buat hewan VIP. Itu e, jatah bagi keluarga hewan yang berduit. Mereka tamu kehormatan meskipun disebut ‘Letjen’ atau lewat jendela. Hmmm…sekolahku luar biasa, Ndoke. Acara PHB-nya saja, kami sudah dibekali materi kolusi dan nepotisme.
Ndoke, kamu sudah bisa berhitung k?
Mari, saya hitungkan keuntungan sekolahku. Uang pendaftaran plus uang tes dan fotocopy tata tertib, sebesar 200 ribu. Jadi, jika pendaftarnya 2.000 hewan, pendapatan sekolahku dari PHB mencapai 400 juta. Belum pendapatan dari hewan Letjen. Belum lagi, pas masuk sekolah, kami disodorkan nota berisi uang pangkal, uang gedung, uang OSIS, dan uang-uang lainnya. Hewan Letjen biasanya ongkosnya plus-plus. Plus urunan pembelian mesin riso, mesin fotocopy, mesin laminating, serta mesin potong kertas. Padahal, pemerintah melalui KEMENDIKHE (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Hewan) sudah mengucurkan dana BOSH (Bantuan Operasional Sekolah Hewan) untuk pembelian barang-barang itu. Ini sekolah atau badan usaha k? Saya juga bingung, Bosku!
Ndoke, jangan bosan dengar curhatku e. Bagian ini yang paling miris.
Tes masuk sekolah unggulan, begitu menyeramkan. Dari semua hewan yang mendaftar, hampir separuhnya harus mengubur mimpi. Tesnya horor. Saya benar-benar heran. Kenapa model tesnya sama untuk semua hewan? Padahal, kami kan spesialisasinya berbeda-beda.
Ada tes memanjat, terbang, dan menyelam. Kami dipaksa harus lulus seluruh tes. Coba bayangkan. Temanku, La anoa yang jago lari, mati tenggelam sewaktu ikut tes menyelam. Begitu pun yang menimpa La gajah. Meski Badannya besar, tinggi, dan kuat, hewan dari Sumatera itu harus beberapa kali menjalani opname gara-gara ikut tes terbang. Patah tiga tulang punggungnya. Matanya buta tertusuk ranting saat melompat dari pucuk cemara. Patah juga hatinya karena dicap bodoh sama sekolah. La gajah nekat gantung diri karena tak kuasa menanggung malu.
Ada juga Wa pogo, betina dari kampungnya kita yang piawai berenang. Kamu tahu apa yang terjadi sama dia? Ikan gemulai nan lincah itu, pingsan lima kali karena kehabisan napas saat tes manjat. Parahnya lagi, dia dicap autis oleh sekolah. Wa pogo malu pulang kampung. Dari postingan-postingan Instagramnya, ikan betina itu menjajakan diri di pasar gelap.
Ndoke, saya sedih dengar nasibnya teman-temanku.
Saya sadar ji kasian, saya ini hanya kura-kura kecil. Banyak hewan tua yang panggil saya ‘Hewan Ingusan’. Saya juga bukan pakar pendidikan atau lulusan FKIPHE (Fakultas Ilmu Pendidikan Hewan). Tapi salahkah jika saya nilai pendidikan semacam ini kurang adil. Kurang hewani. Haruskah La anoa yang punya cita-cita pelari, memupus mimpi karena gagal di tes menyelam. Bagaimana mungkin menilai kecerdasan gajah dari kemampuannya terbang atau ikan dari kemampuannya memanjat?
Ndoke, berlinang terus air mataku. Tak terhitung banyaknya makhluk juara di tanah Buton ini yang dilabeli bodoh, tolol, dan dungu sama sekolahnya. Doakan kasian, semoga saya bisa sabar dan tidak ilfeel sama sekolah yang katanya unggulan ini.
Dari
Sahabatmu La Kolo-kolopua
di
Sekolah yang katanya unggulan
Penulis: Suhardiyanto
Sumber gambar: https://himpunkartun.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar