Lima Alasan Mengapa Lelaki Buton Adalah Sosok Menantu Ideal

 


“Jodoh itu ditangan Tuhan, kalau ditangan ina-ina itu namanya air nene”


Perihal quotes di atas, tampak seperti sebuah candaan. Tapi apa yang hendak saya bahas dalam tulisan ini, sangat berkaitan erat dengan kalimat itu. Dan saya tidak sedang bercanda. 


Beberapa waktu lalu, salah satu publik figur dari kampung halaman saya Kepulauan Buton, yaitu Ari Kriting, melangsungkan pernikahan dengan seorang selebritis berparas cantik berdarah Makassar (Indah Permatasari). Pernikahan itu dilangsungkan dengan sederhana, untuk seukuran selebritis tanah air. Tampak kebahagiaan menghiasi wajah kedua mempelai tersebut. 


Bertolak belakang dengan kondisi mereka, ibu dari Indah Permatasari begitu kesal, marah, juga sesekali mengeluarkan air mata mendengar kabar yang seharusnya menjadi kabar bahagia bagi semua ibu di dunia. Tapi tidak untuk Ibunda Indah. Bahkan sumpah serapah beberapa kali dilayangkan untuk menantu yang tidak diingkannya itu. Luapan emosi menyeruak sebagai bentuk akumulasi dari kekecawaan atas semua kisah yang dibangun Ari Kriting dan Indah Permatasari sejak pertama kali mereka berpacaran hingga melenggang ke jenjang pernikahan. 


Menurut wanita paruh baya ini, sosok Ari Kriting bukanlah sosok yang tepat bagi putrinya. Komika berambut kriting itu dianggap sebagai lelaki kurang ajar dan tidak punya sopan santun dan etika. Juga membawa pengaruh negatif bagi anaknya. Parahnya, sang ibu menduga bahwa Ari Kriting telah melakukan guna-guna alias ‘dloti’ kepada anak perempuannya. Pokoknya, tidak ada hal yang baik di mata beliau bagi salah satu putra daerah terbaik Wakatobi tersebut.


Sebagai sesama orang Buton, saya merasa berhak untuk membela saudara sekampung halaman saya ini. Saya tidak habis pikir, begitu buruknya saudara saya itu dimata mertuanya sendiri. Hingga dituduh dengan hal-hal yang tidak beralasan bahkan di luar nalar. Apalagi, Ari Kriting merupakan seorang terpelajar yang lulus dari salah satu Universitas ternama di Kota Malang, bukan di rumah dukun. 


Asumsi-asumsi yang dilontarkan ibu mertua dari Ari Kriting, kurang mencirikan sosok ibu yang seharusnya digambarkan bak bidadari berhati malaikat. Di tengok dari sisi agama pun, sekiranya agak kurang bijak. 


Sudah sampaikah di telinga ibu, bahwa dalam agama Islam orang tua dilarang keras untuk menghalang-halangi seorang anak, khususnya anak perempuan untuk menikah. Apalagi, sudah ada seorang pria yang datang melamarnya. Dan si anak menginginkannya. Apa yang dipikirkan sang ibu?


Jika ibu tidak bisa melihat sisi baik dari Arie Kriting, mari saya jelaskan kenapa kami para ‘laki-laki dari Tanah Buton’ ini pantas untuk menjadi menantu bagi mertua-mertua di seluruh planet. Banyak alasan yang bisa menjelaskan itu semua. Ada beberapa karakter dari kami yang bahkan tergambar jelas dari sosok Satriaddin Maharinga Djongki alias Ari Kriting. Mungkin alasan di bawah ini bisa melembutkan hati ibu, untuk menerima saudara kami. Tabee di, Bu.


1. Bermental Baja/Berani


Pada umumnya para pejantan tangguh dari negeri Kesultanan ini, adalah pria pemberani. Pantang bagi kami untuk meninggalkan medan tempur jika peperangan itu belum usai. Di mana pun berada, tidak ada sesuatu pun yang ditakuti kecuali Tuhan Sang Maha Pencipta. Selama yang dilakukan itu benar, seolah ketakutan bahkan takut untuk menghampiri. Jika sudah seperti ini, wanita mana yang tidak merasa terlindungi bila berada di sisi kami. Tanah orang saja, kami bisa jaga dengan berdarah-darah, apalagi anak ibu?


2. Gigih 


Sebagian besar laki-laki dewasa di daerah ini, merupakan laki-laki yang selalu berjuang habis-habisan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Apa yang sudah dimulai, maka wajib hukumnya untuk diselesaikan. Memang kegagalan itu pasti ada, tapi bangkit dari kegagalan itu adalah karakter kami. Kegigihan dalam menggapai mimpi seolah sudah menjadi takdir dari Illahi. Jadi, masa depan yang cerah adalah garansi bagi kami untuk si dia yang hendak mendampingi.


3. Bertanggungjawab


Di daerah kami, sejak dahulu seorang laki-laki bisa beristri lebih dari satu. Tapi, dari cerita-cerita yang saya dapatkan, jarang saya dengar dan temui, mereka yang menelantarkan anak dan istrinya. Sekalipun mereka pergi jauh ke tanah rantau. Mereka tidak akan pernah lupa untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Membangun komunikasi yang rutin hingga rindu yang membara, semua dibayar dengan komitmen yang penuh dengan tanggung jawab. Menjadi pemimpin yang tidak lupa diri, dan teladan bagi anak keturunan, merupakan sisi lain dari tanggung jawab yang jarang dimiliki dan disadari oleh pria-pria lain di luar sana. Lalu, apa yang ibu takutkan dari ini?


4. Pekerja Keras


Untuk karakter yang satu ini, silakan ibu lihat sendiri dengan apa yang dicapai oleh menantu gagah ibu itu. Bagaimana dia berjuang dari yang bukan siapa-siapa sampai di titik sekarang ini. Siapa yang tidak mengenalnya? Dia hanya salah satu contoh dari sekian banyak laki-laki di daerah kami yang tidak pernah lelah untuk bekerja. Ibu boleh bertanya kepada mereka yang telah mengenal kami orang Buton. Karakter apa yang paling kuat dari orang-orang yang berasal dari daerah kami? Saya yakin seratus persen dari mereka akan menjawab bahwa kami adalah pekerja keras, yang tidak malu untuk melakukan apa saja, demi mencukupi keluarga dengan rezeki yang berkah.


5. Penyayang


Sudah tidak dimungkiri, bahwa falsafah Buton yang sekarang dipakai oleh pemerintah daerah saat ini yaitu PO 5 adalah bentuk kata lain dari cinta. Sejarah membuktikan bahwa masyarakat Buton sangat terbuka terhadap pendatang apalagi saudara sendiri. Masyarakat Buton terlahirkan dengan pribadi yang luhur, yang mengutamakan cinta dan toleransi dalam satu paket. Walaupun dalam beberapa kejadian kita menemukan konflik lokal yang terjadi dalam masyarakat, tapi ini bukanlah gambaran sebenarnya dari karakter masyarakat Buton itu sendiri. Terbukti dengan konflik yang terjadi, tidak pernah berlarut-larut atau berkepanjangan. Jika terhadap orang lain saja kami mampu menebar cinta dan kasih sayang, apalagi dengan si dia yang bakal menjadi pelengkap dari sebagian agama? 


Saya kira dari kriteria di atas, bisa menggambarkan bahwa kami yang merupakan bagian dari masyarakat Buton merupakan sosok menantu ideal yang diidam-idamkan. Namun, hanya sedikit dari mereka yang mampu melihat ini. Termasuk yang terjadi pada kasus Arie Kriting dan Indah Permatasari. Bisa jadi apa yang dilihat oleh Indah pada sosok Ari Kriting tidak mampu dilihat oleh ibundanya. 


Terlihat sangat subjektif memang, tapi ini merupakan pembelaan bagi seorang anak daerah yang telah dihina-dina dengan penilaian yang subjektif pula. Cuma karena rupa yang tidak sesuai dengan keinginan mertua, bukan berarti kami buruk secara etika apalagi akidah.


Harapan saya, mereka berdua dapat terus melangkah jauh dalam bahtera rumah tangga yang telah mereka bangun. Hingga pada akhirnya, dapat membuka mata mereka yang memandang buruk pada rupa. 


Untuk ibu mertua, “Jalan-jalan mi, Bu, ke tanah Buton. Siapa tahu ibu akan jatuh cinta.”


Berkaitan dengan quotes pada awal tulisan, saya hanya ingin katakan, bahwa orang tua memang selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya, tapi takdir tidak dapat diubah oleh mereka. Berlakulah sepatutnya.


Saya selalu berharap agar semua bisa berjalan dengan damai dan harmoni. Saling Pomamasiaka, sayang menyayangi. Baik antara Arie Kriting dan istrinya, juga kepada keluarga dan mertuanya. 


Selamat menyentuh hidung baru, Bang Arie. Samawa selalu. 


Penulis : Ade Nyong

Sumber foto: Popbela.com

1 komentar:

  1. Mantaap tulisan yang baik dan berkelas...terus berkarya laki-laki yang lahir di Tanah Buton👍👍👍

    BalasHapus

Pages