Pertama, tengah malam larian-larian kejar pemateri Dialog Kebenaran. Bukan berniat minta tanda tangan, tapi ingin menjitak kepalanya. Bahkan ada teman saya, mencabut badik di kelas saat materi kontroversi itu sedang berlangsung. Mungkin ingin kili-kili (baca: gelitik) usus 12 jari Kakanda pemateri. Badiknya bagus. Terbuat dari tulang berwarna putih gading. Kata teman yang memiliki badik itu, kalau tembus di perutnya Kakanda, bakal tidak mengeluarkan darah. Membunuh dengan senyap.
Saya sebenarnya heran dengan teman saya itu. Kok belajar di himpunan Islam bawa badik? Harusnya bawa kopiah, sajadah, sama Juz ama. Betul kan,Bosku?
Itulah uniknya materi Dialog Kebenaran di HmI. Apa yang Anda yakini selama hidup, akan diuji oleh pemateri yang mengaku datang dari agama lain. Bisa hancur-hancuran debatnya. Jika argumentasi kalah, maka kekerasan biasanya yang bicara. Ada senior saya dengan kalapnya mencabut daun pintu dan melemparkannya ke arah pemateri. Kayak Hulk. Ia hilang kesadaran karena keyakinannya dilecehkan. Gila.
Yang saya salut dari Bastra Hmi, kita diajak untuk beragama bukan dari dogma, melainkan pilihan merdeka.
Kedua, demo tengah malam. Saat materi Kemahasiswaan berlangsung, Kakanda yang mulutnya provokatif, membakar semangat kami untuk mendemo kafe di jalan Nusantara. "Apa gunanya kalian mahasiwa kalau diam melihat nasib saudari-saudari kalian di jalan Nusantara!" pekiknya.
Kami yang muda, berdarah panas, mahasiswa, dan bego, mau-mau saja mengkuti saran sang kakanda.
"Betul ki. Mari kita demo di jalan Nusantara!" teman-teman saya mulai beringas. Lari keluar ruangan menuju jalan. Saya ikut-ikutan, terjebak rasa malu sama odo-odo kohati (Korps HmI wati).
Malam itu, entah mengapa kami merasa paling idealis segalaksi Bima Sakti. Sebagai agent of change, kami ditantang untuk membebaskan penderitaan tunawisma di wilayah yang terkenal esek-eseknya di Makassar.
Kami teriak-teriak tak keruan di jalan Botlem (Botolempangan). Petantang-petenteng kayak penguasa di kawasan itu. Sementara kakanda yang budiman, malah tambah kasih panas-panas: "Eiy lembe, begitu ki mahasiswa? Apa ji!"
Emosi kami tersulut, kakanda tertawa diam-diam. Kemahasiswaan kami semakin dilecehkan.
Ketiga, hafal tujuan HmI. Bagi mereka yang kader asli HmI, (bukan KW), pasti hafal mati dengan tujuan organisasi yang dirintis oleh pahlawan nasional, Lafran Pane tersebut.
"Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernapaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridai Allah SWT."
Paragraf di atas saya tulis sekejap tanpa copy-paste. Karena tujuan HmI sudah mendarah daging di hati saya. Cie!
Bagaimana tidak lupa, tujuan itu menjadi syarat mutlak untuk menjadi anggota HmI. Ketika proses pengkaderan, lupa satu huruf atau terbata-bata menghafal tujuan, langsung dibentak dan diusir dari ruangan. Entah berapa kali saya harus pulang balik masuk kelas untuk muroja'ah hafalan. Ini bukan saja soal kekuatan memori otak manusia, tapi juga mental tahan banting.
Kata Kakanda yang bijak bestari, tujuan HmI adalah sandi. Jika ada penyusup yang mencurigakan dalam satu gerakan di lapangan, maka pertanyaan pertama untuk mengujinya adalah: Nikita Mirzani atau Dinar Candy? Walah, kok bisa begitu? Bercanda,Bosku. Jangan telalu serius. Sandinya: "Apa tujuan HmI?"
Ini strategi brilian. Bagi siapa yang ingin menyusup dalam gerakan-gerakan HmI, Anda wajib cerdas sejak dalam pemikiran. Dan pastinya harus kuat menghafal tujuan HmI.
Keempat, pengkaderan yang maraton. Ini bagian yang membuat asam lambung saya meronta-ronta keluar. Pengkaderan di HmI itu dilakukan fullday. Siang, sore, malam, tengah malam, sepertiga malam, dan subuh. Berjalan maraton, jarang istirahat, tanpa tidur. Angkatan saya bahkan dibuatkan surat izin khusus ke kampus agar rehat kuliah sejenak biar fokus ikut pengkaderan.
Beruntunglah jika komisariat Anda punya dana yang melimpah untuk menanggung akomodasi peserta. Karena jika tidak, Anda akan berhadapan dengan Intel (Indomie telur).
Sebagai informasi, dalam pengkaderan HmI, seluruh eksistensi Anda akan disentak. Pikiran, perasaan, keyakinan, mental, imun tubuh, jimat, dan lain sebaginya, dipertaruhkan di meja pengkaderan. Bisa dibayangkan bagaimana energi dan rasa lapar yang menggeliat. Mungkin inilah musabab lahirnya satu pameo terkenal: logika tanpa logistik = anarkis,Bos!
Berapa kali saya berniat kabur. Meninggalkan gelanggang pengkaderan untuk tidur nyaman di kosan. Satu alasan agung yang membuat saya keukeuh bertahan. Tiada lain tiada bukan adalah Kohati. Merekalah satu-satunya wujud eksternal yang membuat kelelakian saya tercoreng manakala menyerah di tengah jalan. Masa mereka bisa bertahan, saya leha-leha di kosan? Kagaco saya dipertanyakan. Eh, Kohaco dink!
Kelima, memori demonstrasi. HmI memang susah dipisahkan dengan parlemen jalanan. Hubungan antara HmI dan demonstrasi menurut saya, tak ubahnya sop konro dan iga sapi. Saya melihat hal ini sebagai bentuk kepekaan HmI pada isu-isu nasional dan siap membela kepentingan rakyat kendati jalan itu harus melawan penguasa.
Organisasi yang terbentuk di kota pelajar itu memang sudah kenyang dengan pengalaman membela tanah air dan hak-hak rakyat. Di masa agresi Belanda, kader HmI bergabung dengan tentara Indonesia melawan penjajah. Di masa sekarang, parlemen jalanan menjadi satu bentuk perjuangan sebagai social control sekaligus agent of change. Kata Jendral besar Surdiman, HmI itu adalah Harapan Masyarakat Indonesia.
DPRD Sulsel jalan Urip Sumoharjo di era SBY, menjadi saksi bisu pengalaman manis saya berHmI. Kala itu kami turun ke jalan menolak kebijakan kenaikan BBM.
Awalnya saya gemetar ketika diberi pelantang untuk berorasi. Saya berdiri di deret tangga Kantor DPRD dan di bawahnya menyemut ratusan mahasiswa dari berbagai kampus di Makassar. Asap hitam mengepul dari ban-ban yang dibakar di jalanan. Helikopter hilir mudik di angkasa. Ratusan aparat berjaga-jaga. Betapa epiknya suasana itu. Kayak film action.
Tubuh saya gemetar. Keringat biji jagung menitis membasahi baju. Saya tak punya rencana bicara di momen seepik ini. Tanpa teks. Kakandaku, help me! Bisa-bisanya saya dikandang paksa di situasi seperti ini. Tega mentong!
Sepintas saya melihat massa di bawah. Wah, ada odo-odo Kohati, semangat percaya diri saya seketika membara. Malu ini e kalau salah-salah.
Yah, seperti kader-kader HmI yang acap saya dengar publik speaking-nya, diksi saya sedikit-sedikit pakai "Yang kemudian".
"Hari ini, kebijakan kenaikan BBM, yang kemudian merugikan rakyat harus kita lawan. Rezim SBY tidak pro rakyat yang kemudian membawa kesengsaraan...bla...bla...bla....yang kemudian...yang kemudian." Demikian orasi saya yang panjang dan tak berfaedah.
Huft, capek juga mengingat kenangan manis itu. Sebenarnya, kisah berHmI itu banyak. Buanyak sekali. Saking banyak dan berkesannya, saya lebih hafal materi dan kenangan berhijau hitam ketimbang rutinitas akademik dan mata kuliah sendiri. Memori berHmi memang punya citarasa tersendiri.
Simpulan saya dari lima kenangan manis BerHmi adalah, di balik orasi Kohaco yang cetar membahana, ada pesona Hayati yang menyala-nyala!
Eh,Kohati dink!
Jaya selalu HmI: Yakin usaha sampai!
Penulis: La Anto
YAKUSA
BalasHapusEwaki sappo...
BalasHapus