Ada yang Mau Jadi Pelayat Bayaran?



Setiap dari kita, ketika anggota keluarga atau kerabat yang meninggal dunia, sudah pasti akan merasakan rasa duka yang sangat dalam. Dalam mengekspresikan duka cita itu, ada yang sampai menangis dengan ratapan yang sangat dalam. Tidak terkecuali kita yang berada di kota Baubau ini. 


Beberapa orang mungkin sulit mengeluarkan air mata. Biasanya karena hubungan kekerabatan yang tidak terlalu dekat. Apalagi jika masih ada utang yang belum dibayar. Jangankan mau menangis, yang ada datang untuk menagih hutang, dan ini pernah terjadi.  


Tapi tahukah Anda, bahwa di beberapa negara luar, untuk menciptakan suasana berkabung pada saat ada kerabat yang meninggal itu tidaklah semudah dan sealami yang terjadi disekitar kita, Bosku. Mereka bahkan menyewa beberapa pelayat bayaran untuk menciptakan ratapan yang sungguh menyedihkan. Konon katanya semakin banyak para pelayat dengan duka yang mendalam, maka keluarga yang berduka akan semakin terhormat. Ngerinya mi. Mau pansos harus ada korban dulu kalau begini.  


Untuk menjadi pelayat bayaran ini juga tidak susah. Cukup niat dan kemauan dan sedikit dibumbui dengan akting menangis ala sinetron suara hati suami. Fix, Anda diterima. Sama seperti penonton bayaran di acara-acara alay di televisi. Hanya beda peran saja. 


Di Inggris, bahkan sudah ada perusahaan yang menaungi profesi dengan nama keren Rent a Mourner ini. Bayaran yang mereka terima juga tidak sedikit, Bosku. Mereka ini dibayar dengan hitungan per-jam. Dalam satu jam layatan, bayaran mereka bisa mencapai 45 poundsterling atau setara 800 ribuan, jika dikonversikan dalam mata uang rupiah sekarang. Negara lainnya yang memiliki profesi serupa adalah Goma, bagian Timur Kongo, Afrika Tengah, serta Ghana.


Namun ternyata, profesi ini bukan baru ada sekarang ini. Profesi ini sudah ada sejak 2.000 tahun yang lalu. Menurut buku yang berjudul We Don’t Die Alone: Jesus Is Coming to Get Me in a White Pickup Truck (2008) yang dilansir dari tirto.id, praktik pelayat profesional ini sudah ada sejak zaman Romawi kuno. Pada masa itu, mereka diminta untuk bersedih dan menangis sejadi-jadinya, sampai menyobek baju dan mencakar-cakar wajahnya sendiri. Bahkan untuk pemakaman di beberapa negara lainnya terutama di afrika, mereka bisa sampai menyanyi, menari, atau sampai teriak-teriak agar jenazah bisa hidup kembali. Sepaket dengan para pengangkat peti jenazah yang pernah viral itu, Bosku. 


Jangan salah, sebelum memulai prosesi layatan itu, mereka melakukan briefing terlebih dahulu. Agar nantinya ketika sampai di rumah duka, semua terlihat secara alami. Ada pula pihak-pihak agensi yang sudah melakukan training bagi para pelayat bayaran ini ketika bergabung di dalam industri kematian itu. Ngeri-ngeri sedap namanya ee. 


Makanya, jangan heran kalau di saat kedukaan sedang berlangsung. Bisa dijumpai gaya tangisan yang unik-unik. Ada gaya tangisan kehilangan, guling-guling di lantai, pekik histeris rapalan yang memecah kesunyian, menangis sampai muntah-muntah, dan ada istilah tangisan tupai. Saya sendiri tidak tahu kenapa ada istilah itu. 


Jangan berpikir bahwa gaya-gaya tangis di atas adalah hasil karangan saya. Itu semua ada di dalam daftar gaya tangisan yang ditawarkan Kumasi Funeral Criers Association, salah satu agensi pelayat bayaran di Ghana. 


Di negara yang saya sebutkan barusan, hal yang menjadi dasar adanya pelayat bayaran ini dengan gaya tangisan yang bermacam-macam tadi, adalah agar dapat menarik simpati pelayat-pelayat lainnya. Hingga mereka bisa memberikan uang duka yang lebih besar kepada keluarga yang ditinggalkan. 


Jadi, semua ini masalah cuan, Bosku. Kalau kita disini masalah uang duka seperti ini bahkan ada yang pura-pura lupa ingatan. Bukan mengharapkan sih, tapi kalau dilihat dari prosesi adat kita di sini, ada 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan seterunya. Habis juga uangnya orang, Bosku. Bagus kalau yang meninggal itu orang kaya. Kalau miskin? 


Bagaimana, ada yang berminat jadi pelayat bayaran? Tapi gratis, untuk bantu orang-orang yang kurang mampu toh...


Penulis: Ade Nyong








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages