Wa Ndiu-ndiu dan Sinetron Suara Hati Istri



Wandiu-ndiu terhenyak. Amarahnya bergejolak. Mulutnya menggeram menahan emosi yang memuncak. ”Siapa yang makan parende di atas meja?” ujarnya dengan mata memerah.


“Bukan saya Ina, sejak pagi tadi saya main game. Mungkin La Mbata-mbata yang melahapnya.” La Turungkoleo menunduk takzim, baru kali ini dia melihat Inanya seperti itu.


“Cepat cari adikmu sekarang, bawa dia ke sini.”


***


Tak berselang lama, La Mbata-mbata sudah terlihat di depan pintu. Wajahnya pucat pasi. Dia tahu sebentar lagi menjadi sasaran empuk amarah.


“Kamu yang makan parende di atas meja?” suara Wa ndiu-ndiu bergetar menyambar kasar setiap sudut ruangan.


“Iyyyya…Ina,” suara La mbata-mbata tercekat. Lidahnya terasa kelu. “Tadi siang saya lapar sekali, tidak ada makanan di lemari. Jadi saya makan saja ikan di atas meja


“Kenapa tidak bilang sama Ina?”amarah Wa ndiu-ndiu nyaris mencapai klimaks


“Saya mau izin, tapi tidak tega ganggu Ina yang lagi asik nonton sinetron Suara Hati Istri.”


Wandiu-ndiu terdiam. Dia tidak menyangka jawaban si bungsu melesit menghujam sukma. Memang, akhir-ahir ini seluruh waktunya dihabiskan di depan tv. Dia lebih terenyuh nasib sang tokoh utama di sinetron "Rumah Tanggaku Bagai Etalase dan Aku Adalah Istri yang Hanya Jadi Pajangan", ketimbang perut buah hatinya. Dia lebih tertarik adegan-adegan dramatis pada lakon “Suami Sempurna di Sosmed, Suami Buruk di Dunia Nyata”, ketimbang keluh kesah suaminya sendiri. Tidak heran seluruh pekerjaan rumah terbengkalai. Rumah menjelma laiknya kuburan. Tanpa cinta, tawa, dan saling sapa.


“Ini salah Ina, Nak,” suara itu melembut. “Ina tidak memperhatikan kalian.”


Suasana hening. La Turungkoleo masih tertunduk. La Mbata-mbata sesenggukan. Titik air tak terbendung mengalir dari sudut matanya.  “Tidak Ina, saya yang salah. Harusnya saya tidak memakan ikannya Ama.”


Wa Ndiu-ndiu bergegas memeluk kedua anaknya. Sudah lama dia tidak mendekap anaknya seperti ini. “Ina menyesal nak. Kalian seharusnya mendapat perhatian lebih. Biarlah untuk menebus kesalahan ini, Ina akan keluar dari rumah sekarang.”


“Jangan Ina… jangan!” Kedua anak itu langsung mendekap erat Inanya. Tangisnya pecah sejadi-jadinya.  Apalagi si bungsu yang masih duduk di bangku kelas dua SD. Pikirannya langsung melayang pada dongeng ikan duyung yang diceritakan guru Penjaskes tempo hari.


“Jangan pergi Ina, jangan lari ke laut. Jangan jadi ikan duyung. Sekarang lagi keras ombak. Banyak ikan hiu di sana. Tidak ada Aquaman. Jangan tinggalkan saya Ina,” pekik La Mbata-mbata dengan air mata berurai.


Wa Ndiu-ndiu tersenyum. ”Tidak nak, Ina tidak sealay itu. Ina keluar dari rumah bukan untuk tinggalkan kalian. Ina hanya mau menjual televisi ini di pasar. Biar kita bisa beli ikan buat Ama. Sisanya buat beli sepatu dan buku pelajaran kalian. Ina juga ingin buatkan kasoami dan ikan bakar, pasti kalian suka.”


“Tapi bagaimana dengan sinetronnya Ina?” kata La Turungkoleo


“Kalian lebih penting Nak. Kalian lebih berharga buat Ina. Mulai saat ini, Ina akan selalu ada buat kalian”


Siang itu, Wa Ndiu-ndiu mendapat pelajaran yang sangat berharga. Ia mesti banyak belajar menjadi ibu terbaik untuk keluarganya. Menjadi madrasah utama yang memberi suri tauladan. Untuk meraih semua itu, ia sepenuhnya yakin bahwa khutbah sinetron bukanlah tempat yang pas untuk mengampu diri.


“Aduh, kayaknya saya korban sinetron e,” batinnya.


Sayup-sayup terdengar alunan lagu dari loudspeaker tetangga: “Kumenangiiiiiiiiiiis…membayangkan…”


T A M A T


Penulis: La Anto

Ilustrasi gambar: Tribunnews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages